Artikel ini ditulis oleh Aleima Sharuna, Mental Health Advocate & Pracitioner
Kali ini, saya akan menceritakan dua orang yang pernah hadir dalam hidup saya. Mereka tidak saling mengenal, namun memiliki jalan cerita yang hampir sama.
Cerita pertama datang dari seorang pria berusia akhir 30-an, dengan tubuh tinggi semampai, dan wajah tirus. Ia datang dengan perasaan lelah karena tak henti bertikai dengan partner bisnisnya. Ia merasa seluruh tugasnya telah dikerjakan dengan baik, namun pasangan bisnisnya mempertanyakan mengapa semua dikerjakan sendiri olehnya.
“Aneh banget sih,” kata dia. Toh, selama ini usaha tersebut baik-baik saja dan tidak pernah ada masalah keuangan yang signifikan. Itulah kontribusinya selama ini. Ia merasa lebih nyaman menghadapi segalanya sendiri, yang mana sang partner lebih nyaman untuk melakukan berbagai hal bersamaan.
Konflik terjadi, ketegangan memuncak, dan usaha mereka pun terancam tutup. Masalahnya sudah banyak modal yang ia curahkan, dan dengan tutupnya usaha tersebut, maka tidak ada keuntungan yang dapat diambil saat ini.
Cerita kedua adalah seorang perempuan berusia awal 30-an yang sangat berambisi untuk menjadi kepala perusahaan di tempat ia bekerja. Ia baru saja melahirkan seorang anak perempuan enam bulan yang lalu dan sedang menyelesaikan studinya.
Dengan jadwal yang begitu padat, sang suami selalu mengeluh betapa minim waktu yang diberikan perempuan tersebut untuk keluarga. Ia pun diminta untuk berhenti bekerja, agar dapat fokus mengurus anak sambil melanjutkan studinya.
Dengan penuh amarah, ia datang menemui saya. Ia mengatakan bahwa selama ini dia melakukan semuanya sendiri, dan berhenti bekerja berarti menggantungkan dirinya pada pihak lain.
Itu adalah hal yang asing, yang mana membuatnya merasa jauh lebih aman jika penghasilan maupun pencapaian ia dapatkan sendiri tanpa tergantung oleh siapa pun. Selain itu, toh kontribusi finansial yang ia berikan pada keluarga merupakan bentuk perhatian dia selama ini.
Lebih menyukai melakukan hal sendiri
Jika melihat dua cerita di atas, ada pola yang dapat kita lihat: meski berbeda gender, kedua orang tersebut merasa lebih menyukai melakukan segala hal sendiri. Mereka mengatakan lebih aman jika dapat mengontrol apa yang dilakukan dan mengantisipasi yang mungkin terjadi.
Ketika membahas tentang masa kecilnya, mereka memiliki cerita yang mirip. “Sejak kecil saya melakukan semuanya sendiri, dan menahan apapun yang saya rasakan. Itu cara saya bertahan,” kata salah satu dari mereka.
Mereka menyampaikan bahwa seringkali pengasuh mereka tidak dapat merespons emosi, pikiran, atau kebutuhan mereka kala itu. Sehingga jalan aman yang mereka temui adalah diam dan memendamnya agar tetap tercipta kedamaian (bebas konflik). Tanpa disadari mekanisme pertahanan ini membangun dinding yang membuat pihak di sekitarnya sulit untuk masuk dan terkoneksi dengan mereka.
Berdasarkan tanda/ciri perilaku maupun sudut pandang di atas, bisa jadi apa yang dialami mereka merupakan tanda bahwa kedua orang tersebut memiliki pola relasi Dismissive - Avoidant Attachment. Apa itu?
Dismissive - Attachment Avoidant adalah salah satu dari beberapa pola attachment dalam teori kelekatan yang dikemukakan oleh John Bowlby. Orang yang memiliki tipe kelekatan ini cenderung tidak nyaman untuk memiliki hubungan dekat dengan orang lain, merasa tidak nyaman dalam hubungan yang intim, dan sulit untuk membuka diri secara emosional.
Penyebab tipe attachment ini bisa bermacam-macam, dan tentunya setiap orang berbeda. Bisa jadi saat bertumbuh mereka mendapat respons yang minim dari pengasuh utama seperti kurangnya perhatian, tidak sensitif terhadap kebutuhan mereka, pengabaian, atau pola asuh yang "dingin".
Hal ini membuat mereka merasa tidak bisa mengandalkan orang lain untuk mendapatkan dukungan emosional, atau bisa jadi mereka mengalami pengalaman yang traumatis sehingga cenderung menghindari ikatan emosional demi melindungi hati mereka.
Perlu diingat bahwa setiap individu bisa mengalami berbagai pengalaman dengan reaksi yang berbeda, sehingga hal di atas bukan satu-satunya faktor penentu. Nah, apa hubungannya dengan uang?
Sangat mandiri dan cenderung tertutup
Seperti cerita di atas, kita dapat melihat bahwa orang dengan kelekatan ini cenderung ingin melakukan semuanya sendiri dan tidak dapat melihat sisi emosional dalam uang. Mereka mungkin lebih memilih untuk memiliki kontrol penuh terhadap keuangan mereka tanpa meminta bantuan atau masukan dari orang lain.
Ini dapat menyebabkan kesulitan kala mereka harus berhadapan dengan partner/pasangan yang menginginkan keterbukaan, yang mana membuat mereka melihat uang murni dari sisi pragmatis dan tidak melihat uang dari sisi sosial maupun emosional di dalam sebuah hubungan.
Kesulitan membuka diri terkait keuangan
Kesulitannya untuk membuka diri secara emosi dapat memicu kesulitan mereka untuk meminta saran keuangan meskipun diperlukan. Mereka mungkin merasa tidak nyaman untuk memperlihatkan sisi lemahnya, maupun menghindari memberikan kepercayaan kepada orang lain dengan mudah. Tak heran jika mereka cenderung menghindari topik mendalam terkait keuangan dan ingin mempertahankan topik tersebut di permukaan saja.
Cenderung “jauh” dari uang
Beberapa orang dengan tipe kelekatan ini merasa lebih aman jika memiliki jarak dengan uang. Berbeda dengan Anxious Attachment yang terus ingin memantau keuangan mereka, beberapa orang dengan tipe kelekatan dismissive-avoidant justru tidak ingin terlalu melekat pada uang.
Selain menghindari topik tersebut, mereka tidak ingin selalu melihat pergerakan keuangan mereka dan kadang merasa lebih nyaman untuk menghindarinya. Sebagai contoh, menghindari melihat tagihan atau beberapa kebutuhan terkait finansial. Kadang saat bekerja mereka merasa, “saya bekerja bukan untuk uang.”
Ketidakseimbangan antara hubungan emosional dan keluarga
Dalam contoh cerita perempuan di atas, terlihat bahwa uang dilihatnya sebagai sesuatu yang pragmatis dan menjadi salah satu fokus dalam berkeluarga, yang mana hal tersebut mungkin membutuhkan dimensi lain dalam keluarga tersebut seperti nilai emosional yang dibutuhkan pasangan maupun anak.
Jika merasa mirip dengan beberapa hal di atas, apa yang perlu kamu lakukan?
1. Konsultasikan kondisimu kepada tenaga ahli/profesional:
Mengetahui apa tipe kelekatan kita tidak cukup hanya dari membaca saja. Perlu observasi dan pendalaman diri yang dilakukan secara objektif. Hubungilah tenaga ahli/profesional yang memahami hal ini, dan jelaskanlah kondisi yang sedang dialami.
Setelah itu, milikilah tujuan akhir dari sesi ini. Apakah ingin mengetahui saja, mengubah kondisi keuangan kita, atau mengubah pola kelekatan kita agar lebih secure?
2. Belajar terbuka dan menerima bantuan
Mungkin bukan hal yang mudah. Namun, perlahan membangun kepercayaan pada seseorang yang kita pilih, baik partner maupun keluarga, kadang dibutuhkan agar kita dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Belajar untuk mengakui bahwa ada kekurangan dan menunjukkannya tidak menjadikan diri kita lemah tak berdaya, namun justru membantu partner/pasangan kita untuk mengetahui apa saja dukungan yang kita butuhkan dari mereka. Terbukalah untuk menerima saran, dan jangan sungkan untuk meminta nasihat terkait keuangan.
3. Mendekatkan diri dengan uang secara sehat
Bangunlah sudut pandang netral yang mana membuat uang dipandang sebagai alat tukar dan bukan sebuah ancaman, fokus hubungan, maupun seseorang yang akan menyakiti kita. Membangun sudah pandang objektif mampu membantu kita untuk melihat realita apa adanya.
Dengan begitu, kita bisa mulai melihat lebih dekat; bagaimana kondisi keuangan kita yang sesungguhnya? Apa yang perlu kita selesaikan? Apa saja kesulitan kita? Bantuan apa yang dibutuhkan?
4. Pendidikan keuangan jika diperlukan
Memiliki ilmu tentang keuangan mampu membentuk perilaku keuangan yang lebih sehat. Melalui berbagai macam sumber, kita dapat mempelajari bagaimana menyeimbangkan kondisi finasial dengan kesejahteraan emosional kita.
Mungkin tidak semudah membalikkan telapak tangan. Rasa percaya, keterbukaan, dan kenyamanan perlu dibangun perlahan. Namun, seiring waktu, kita dapat mulai membangun perilaku keuangan yang lebih terbuka, ringan, dan saling mendukung satu sama lain.
Seperti cerita pria di atas, ia tidak langsung menyerahkan semua pekerjaan kepada partnernya. Namun, perlahan mendiskusikan tugas, memberikan pekerjaan untuk partnernya, dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada karyawan.
Pada saat yang bersamaan, beban yang ia pikul perlahan menjadi ringan, dan rasa percaya dengan partnernya pun mulai terbangun.