Jadi Solopreneur

Belajar Branding dari Boneka Kekinian: Menyentuh Emosi Anak Muda di Era FOMO

04 Agt 2025

thumbnail

Hi Warga, 

Pernah merasa bisnismu tenggelam di tengah iklan brand besar? Jangan khawatir, sekarang bukan lagi zamannya brand kuat karena modal besar. Yang menang adalah brand yang bisa menyentuh hati dan bikin audiens merasa dimengerti.

Dulu, merek-merek besar membangun kekuatan lewat mimpi dan fantasi. Disney adalah contoh klasiknya. 

Akan tetapi, hari ini, terutama di kalangan Gen Z dan milenial, kekuatan brand justru datang dari kedekatan emosional. Mereka mencari merek yang terasa “nyambung”, bukan hanya keren, tapi juga “gue banget”.

Kabar baiknya, kamu nggak perlu budget miliaran untuk bisa punya brand seperti itu. Bahkan brand kecil pun bisa menang. Contohnya? Labubu dari Pop Mart.

Labubu: Dari Boneka Imut Jadi Brand Global Bernilai Miliaran

Labubu adalah karakter yang diciptakan Kasing Lung. Awalnya Labubu hanya bagian dari buku cerita anak. Namun, saat diangkat ke format blind box oleh Pop Mart, Labubu menjelma jadi fenomena koleksi di Asia dan bahkan global.

Menurut Forbes, kesuksesan Labubu membuat pendapatan Pop Mart naik lebih dari dua kali lipat menjadi ¥13,04 miliar (sekitar Rp29,86 triliun). Penjualan plush toy melonjak lebih dari 1.200%, dengan Labubu sebagai bintangnya.

Harga satu Labubu reguler hanya sekitar Rp200 ribuan, tapi di pasar resale bisa menyentuh Rp11 juta. 

Viralnya Labubu meledak setelah Lisa Blackpink memposting gantungan kunci Labubu di Instagram. Satu unggahan itu menciptakan efek domino antrean di toko Pop Mart, jasa titip internasional, dan FOMO besar-besaran di media sosial.

Branding Emosional: Kenapa Anak Muda Membeli Karena “Nyambung”

Fenomena Labubu bukan sekadar viral. Menurut Business Weekly, anak muda membeli bukan karena butuh boneka, tapi karena mereka merasa Labubu mewakili perasaan dan keseharian mereka.

Desainnya yang “ugly-cute”, ekspresi sendu, dan nuansa kesepian yang relate dengan dunia urban membuatnya terasa seperti teman yang “ngerti aku banget”.

Inilah kunci branding emosional: bukan sekadar menjual produk, tapi menawarkan refleksi diri dan koneksi batin.

Strategi Branding Emosional dengan Model AISAS

Untuk solopreneur dan bisnis kecil, kamu bisa meniru pendekatan Pop Mart dengan memakai model AISAS (Attention–Interest–Search–Action–Share). Ini adalah peta sederhana untuk membangun kedekatan emosional di era digital:

1. Attention (Menarik Perhatian)

Unggahan Lisa Blackpink adalah pemicu awal. Secara psikologis, ini memberi dopamine hit, stimulus yang memicu reaksi cepat. Ciptakan perhatian dengan konten visual unik, kolaborasi micro-influencer, atau storytelling personal yang menggugah.

2. Interest (Menumbuhkan Ketertarikan)

Desain Labubu dan asosiasi selebriti menumbuhkan rasa penasaran. Prinsip mirroring bekerja di sini, karakter yang mencerminkan diri audiens. Gunakan tone, desain, atau cerita brand yang bikin audiens berkata, “Ini gue banget!”

3. Search (Mencari Informasi)

Rasa penasaran berubah jadi aksi mencari. Pastikan informasi mudah diakses, FAQ ringkas, highlight testimoni, dan navigasi simpel di website atau bio sosial media.

4. Action (Melakukan Pembelian)

Blind box Pop Mart memberi kejutan dan sensasi berburu. Pembelian jadi pengalaman emosional. Tambahkan unsur surprise, kemasan personal, atau edisi terbatas agar pembelian jadi momen.

5. Share (Membagikan Pengalaman)

Unboxing Labubu menciptakan gelombang FOMO baru. Audiens merasa “gue bagian dari komunitas ini”. Dorong pelanggan untuk berbagi lewat hashtag, desain packaging yang Instagramable, atau reward untuk review/testimoni.

Insight Penting: Branding yang Menyentuh = Branding yang Bertahan

Fenomena Labubu memberi pelajaran penting: anak muda tidak hanya membeli produk, mereka membeli makna dan koneksi. 

Di tengah dunia yang serba cepat dan sering kali terasa sunyi, brand bisa hadir bukan sebagai penjual, tapi sebagai teman yang mengerti.

Ini bukan tentang jadi brand yang paling keras suaranya, melainkan menjadi brand yang paling tulus mendengarkan.

Apa yang Bisa Kamu Lakukan Hari Ini?

Pertama, kamu bisa melihat kembali media sosial brand-mu. Coba cek apakah kamu sedang menjual barang, atau sedang membangun hubungan dengan customer. 

Setelah itu, kamu bisa bertanya kepada customermu,  misalnya, perasaan apa yang mereka rasakan setelah berinteraksi dengan brand-mu. 

Terahir, fokus ke satu emosi utama. Apakah brand kamu ingin membuat orang merasa aman, Fokus ke satu emosi utama, seperti apakah mereka merasa nyaman, menerima produkmu, atau justru semakin bersemangat dengan produk yang kamu tawarkan. 

Di era FOMO, yang kita cari bukan hanya produk, melainkan rasa “gue gak sendiri”.

Optimalkan brand-mu dengan strategi emosional, karena di dunia yang bising, kejujuran adalah daya tarik paling kuat.